Sebuah artikel yang saya rasa bisa mewakili apa yang terjadi saat ini....so read this dan pahami....semoga mengerti....
Saya menulis tulisan ini bukan sebagai pengamat musik, apalagi seorang kritikus musik. tetapi saya menulis tulisan ini hanyalah untuk menyuarakan rasa kepedulian saya terhadap realita-realita yang terjadi pada komunitas metal negeri ini, khususnya kota Jakarta, kota dimana saya lahir dan tinggal. Kondisi kota Jakarta semakin tidak terkendali, masalah kemacetan, banjir hingga cuaca ekstrim seolah tidak berhenti menggempur ibu kota kita yang konon lebih kejam dari ibu tiri ini.
Tidak sedikit dari anak muda kota ini yang membutuhkan sebuah “pelarian” untuk melupakan sejenak semua masalah yang mereka hadapi di tiap detik kehidupan mereka. Acara musik konon sudah menjadi salah satu “sarana” pelarian yang paling diminati. Beda kalangan tentu acara yang didatangi juga berbeda, bagi mereka yang rela menghabiskan uang orang tua demi meminum sebotol Jack Daniels bersama kerabat dekat di dalam ruangan sempit penuh tata cahaya dan diiringi musik dance gaya eropa dan kroni-kroninya, sudah tentu klub malam di seputaran kemang dan menteng lah yang mereka pilih. Tapi bagi mereka yang sudah muak dengan kemunafikan dari gengsi insan-insan ibukota yang setiap hari selalu menghantui kehidupan mereka, sudah tentu mereka memilih acara metal sebagai tempat pelarian.
Disinilah sebenarnya yang banyak salah kaprah, banyak dari mereka yang baru mengenal acara metal (walaupun tidak semua) hanya menjadikannya sebagai tempat pelarian dan ajang cari ribut, tanpa peduli dengan musik macam apa yang mereka dengar, lyric macam apa yang disampaikan pengisi acara kepada mereka. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, sebagian besar diantara mereka hanya menunggu “jebolan” sebagaimana layaknya supporter sepak bola. Jika panitia tidak memberikan apa yang mereka inginkan, mereka tidak segan-segan memaksa, membuat onar atau apapun yang bisa membuat pihak panitia berubah pikiran dan mengizinkan mereka masuk tanpa bayar, alias gratis. Alhasil keributan pun sering kali tidak bisa dihindari dan aparat terkadang harus memberhentikan acara dengan paksa.
Mungkin bedasarkan fakta-fakta inilah pandangan khalayak luas terhadap komunitas metal selalu diidentikan dengan hal-hal yang cenderung kasar, urakan dan tidak berkelakuan baik, tidak ada yang bisa disalahkan, pandangan mereka terbentuk bedasarkan apa yang mereka lihat. Dan pandangan khalayak luas bukanlah hal yang mudah untuk dirubah. Tetapi sayangnya, mereka hanya menilai dari segelintir orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai musik metal yang selalu menyuarakan isu-isu tentang perdamaian, kebebasan, kebersamaan dan kritik-kritik sosial politik. Saya yakin bahwa mereka yang merusak citra komunitas metal dimuka khalayak luas bukanlah anak metal sejati. Mereka hanyalah kumpulan bocah-bocah ABG berpakaian hitam-hitam penuh tatoo dan piercing yang datang ke acara metal bukan bedasarkan “panggilan jiwa” , tetapi hanya bedasarkan gengsi yang mengatasnamakan eksistensi. Jika orang-orang seperti ini tidak pernah berubah, maka persepsi khalayak luas terhadap komunitas metal pun tidak akan pernah berubah pula.
“Insan-insan underground kita sudah banyak berubah” begitu tanggapan kawan saya Janger (bukan nama asli). “ dan sebenernya bukan komunitasnya yang salah menurut gue, tapi anak-anak yang baru kenal metal itu yang menurut gue harus lebih dewasa dulu” begitu tambahnya . Janger dan saya berselisih umur cukup jauh. Dia merupakan salah satu dari ribuan saksi hidup konser metallica di jakarta pada tahun 1993. Dan Janger juga memberikan beberapa kesaksian mengenai pengalaman pahitnya menjadi anak metal pada zamannya.
Kesaksian tersebut jelas tidak jauh berbeda dengan Kesaksian yang dipaparkan oleh Andre Tiranda (Siksa Kubur) dan Arian 13 (Seringai) Dalam film “Global metal” karya sutradara asal Kanada Scot McFadyen dan seorang antropologist Sam Dunn. Bedasarkan kesaksian mereka dalam film itu, seharusnya kita sudah bisa membayangkan betapa tidak bebasnya perkembangan musik metal dizaman orde baru masih mengendalikan kekuasaan penuh terhadap negri ini dan bagaimana sulitnya perjuangan mereka membangun komunitas metal setelah rezim orde baru digulingkan oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Kita juga bisa melihat betapa pedulinya mereka mengenai keadaan-keadaan sosial politik negri ini, yang selalu mereka suarakan melalui lyric-lyric dari musik yang mereka sajikan.
Dan saya semakin tidak bisa membayangkan betapa sakit hatinya mereka jika lyric yang mereka sudah tulis sepenuh hati tidak digubris oleh anak-anak yang mengaku anak metal itu. Kita yang sudah hidup dizaman reformasi ini seharusnya bersyukur atas kebebasan kita dalam berekspresi, terutama dalam musik, pada saat kini kita bisa bebas mengenakan pakaian hitam dan datang ke acara metal tanpa harus takut difinah sebagai simpatisan komunis.
Oleh karena itu, kita yang mengaku sebagai bagian dari komunitas metal harus menjalin kerja sama dengan individu-individu didalam komunitas tersebut terlebih dahulu jika ingin merubah pandangan khalayak luas. Berbeda dengan mengubah pandangan, menjalin kerjasama bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, seperti membeli tiket jika ingin menonton acara yang akan diselenggarakan dan menonton serta memahami setiap band-band yang akan tampil. Moshing memang dianjurkan tetapi tidak di buntuti dengan perkelahian yang dipicu oleh hal-hal sepele, jika kerjasama yang baik sudah dapat kita lakukan, bukan hal yang mustahil pandangan khalayak luas terhadap komunitas metal juga akan berubah ke arah yang lebih positif. Bahkan mungkin komunitas metal dapat dijadikan standar kebersamaan yang patut dicontoh oleh setiap elemen masyarakat. Semoga saja.
Artikel ini diambil dari dapurletter dan ditulis oleh Diego batara = Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Indonesia
Comments
Post a Comment