Band cadas asal Bandung, Burgerkill, memang tidak dikenal sebagai band politikal. Jurnalis musik yang meliput mereka saat tampil tak harus repot-repot menyiapkan kertas dan pulpen—atau pada era sekarang, membuka aplikasi semacam MemoPad di ponsel pintar—untuk mencatat apa yang diucapkan oleh vokalis Vicky atau barangkali sang pemimpin band dan gitaris Ebenz di sela-sela lagu mereka.
Para jurnalis hanya cukup mendengarkan bagaimana intensnya musik mereka, serta meresapi energi yang terhempas dari panggung ke arah penonton dan begitu pula sebaliknya—semenjak berbicara banyak di atas panggung untuk mengkritik sistem sepertinya bukanlah daya tarik utama mereka. Dan itulah yang terjadi dalam konser peluncuran album keempat mereka dan sekaligus pertama dalam lima tahun terakhir,
Venomous, pada Sabtu [16/7] malam lalu di Bulungan Outdoor, Jakarta Selatan.
Burgerkill—yang tampil terakhir setelah Nemesis, Paper Gangster dan Dead Vertical—berhasil membuat kurang lebih 1000 penonton menjadi brutal meski pemain bass Ramdan sedang tidak dalam kondisi kesehatan yang prima. Beberapa kali
Rolling Stone menyaksikan petugas keamanan di depan panggung kewalahan melindungi mereka yang melakukan
body surfing agar tidak jatuh ke dalam media pit.
Burgerkill meninggalkan tema kelam untuk lirik lagu pasca wafatnya vokalis Ivan Scumbag. Begitu pula saat vokalis Seringai, Arian 13, tampil secara mengejutkan pada lagu “Atur Aku.” Arian yang notabene merupakan vokalis asli lagu tersebut saat masih berada di dalam band hardcore lawas Puppen, sempat memberi aba-aba kepada penonton dengan tangannya untuk membuat sebuah
circle pit raksasa yang langsung dipatuhi.
Burgerkill yang pertama kali memperkenalkan diri kepada masyarakat di tahun 1997—dua tahun setelah mereka terbentuk—dengan single politikal dan masih kental dengan warna musik hardcore Eropa a la Ryker’s berjudul “Revolt!”, meninggalkan wilayah itu dan mulai memasuki tema-tema lirik lagu cenderung depresif dan destruktif semacam “Sakit Jiwa” atau “Rendah” yang terdapat pada album penuh pertama
Dua Sisi (2000).
Kemudian, band itu terlihat konsisten mendalami sisi kelam di album kedua mereka dan sekaligus yang pertama dirilis oleh major label Sony Music Entertainment,
Berkarat (2003), dengan lagu-lagunya seperti “Terlilit Asa,” “Penjara Batin,” “Luka,” “Gelap Tanpa Akhir” atau “Tiga Titik Hitam” yang menampilkan vokalis grup musik Padi, Fadly. Puncak dari itu semua adalah album ketiga dan terakhir mereka bersama Ivan Scumbag,
Beyond Coma and Despair (2006), yang dirilis secara swadaya di bawah label Revolt! Records satu bulan setelah vokalis asli Burgerkill tersebut wafat.
Menurut Ebenz, Ivan adalah figur yang sangat berperan dalam membawa musik Burgerkill menjadi sedemikian rupa. Dan karakter lirik lagu seperti yang diciptakan Ivan di masa lampau itu menurutnya tidak ingin mereka ulangi lagi, meski kenyataannya
Berkarat berhasil memperoleh penghargaan sebagai
“Best Metal Production” pada Anugerah Musik Indonesia 2004 dan
Beyond Coma and Despair sukses menduduki peringkat ke-113 dalam “150 Album Terbaik Sepanjang Masa” versi majalah
Rolling Stone Indonesia.
“Dari kejadian Ivan meninggal itu kita sudah punya pengalaman. Kami menganggap bahwa lama kelamaan sebuah lagu itu jadi seperti doa, men,” kata Ebenz saat dijumpai di belakang panggung, beberapa jam sebelum Burgerkill tampil menggebrak Bulungan. “Gue bisa bilang, di
Beyond Coma and Despair banyak indikasi-indikasi bahwa Ivan memang sudah mau pergi.”
Selain itu, Vicky yang masuk sejak 2007 menurutnya juga menjadi faktor mengapa Burgerkill tidak mungkin lagi mengusung tema-tema kelam ke dalam lirik lagu-lagunya kali ini. “Latar belakang Vicky dengan latar belakang Ivan dalam kehidupannya sudah beda. Kalau Ivan bilang melarat, dia memang hidupnya melarat. Kalau Ivan bilang sakit, dia memang sakit. Sekarang kan Vicky jauh lebih sehat. Jauh lebih mapan lah. Buat apa kami tulis apa yang nggak kita rasain, men?” kata Ebenz lagi.
Ebenz tidak menampik bahwa masih ada benang merah antara
Venomous dengan album-album sebelumnya. Namun, ia tampak tidak senang jika konsep musik Burgerkill terkini dibanding-bandingkan dengan konsep ketika Ivan Scumbag masih memegang departemen vokal. “Yang harus digaris bawahi, kami tidak pernah mau menggantikan Ivan. Karena ini semua sudah ada yang mengatur. Di luar kekuasaan Burgerkill. Jadi apapun yang terjadi kami harus tetap
move. Karena memang almarhum pun nggak mau band ini bubar,” tegasnya.
Soal lamanya jarak antara perilisan
Venomous dari
Beyond Coma and Despair, diakui Ebenz memang dikarenakan banyak kejadian yang cukup menghambat. Seperti wafatnya Ivan, audisi vokalis baru, lawatan ke Australia, serta pemain drum Andris yang sempat mengalami patah tulang pergelangan tangan kiri ketika dalam proses pengumpulan materi dan membuatnya harus vakum selama enam bulan. “Saat itu gue sempat mikir, ‘Anjing, udah gantung stik nih,’” sahut Andris.
Sempat terjadi pula masa-masa di mana mereka merasa sulit untuk lepas dari pakem album sebelumnya. “Seolah-olah nggak bisa keluar dari dogma
Beyond Coma and Despair. Setelah berjalan satu lagu jadi, dua lagu jadi, tiga lagu jadi, ke sananya udah semakin nge-
flow dan semakin asyik,” kata Ebenz lagi.
“Makanya kenapa orang bilang musiknya semakin progresif, mungkin karena memang nutrisi kami juga tambah banyak. Makin hari makin banyak yang kita dengerin. Seperti [gitaris] Agung dengerin jazz, kami juga sudah mulai memasukkan unsur-unsur blues,” papar Ebenz. “Jadi di album ini kami nggak memikirkan orang mau melabeli musik kami apa. Kami memainkan musik yang mau kami mainkan aja.”
Burgerkill memang telah mengubah arah musikalitasnya berkali-kali. Pertama kali muncul mereka mengusung langgam hardcore punk, kemudian bergeser semakin berat dan didefinisikan sebagai metalcore. Lantas dengan kini memasukkan unsur progresif ke dalam musiknya, terpengaruh jazz bahkan blues, seperti apa Burgerkill mendefinisikan musik mereka sendiri? “Metal ugal-ugalan,” jawab Ebenz santai.
Comments
Post a Comment